Senin, 05 Mei 2014

Self Paradigm

2 Februari 1954, 09.45 a.m.

Mataku membengkak. Masih terasa pedih, apalagi jika aku menyentuhnya. Hatiku juga membengkak butuh tambalan di sini sana. Kakiku sakit. Dulu aku sering berlari keliling lapangan sekolah sebelum berlomba. Tapi, ini bahkan lebih sakit daripada latihan yang diberikan Pak Jon. Semuanya remuk redam. Aku tak tahu ini mimpi atau nyata, tapi untunglah aku masih hidup.


1 Februari 1954, 06.45 p.m.

 “Jingga, di sini bagus sekali!” serunya bersemangat. Sudah lima kali dia berteriak kegirangan.
“Iya,” celetukku, setengah menggumam.
Kami suka melakukan traveling. Bukan hanya sebatas mengikuti atmosfer kekinian saja, tapi memang kami sudah melakukan perjalanan berulang – ulang kali. Kadang jauh, kadang dekat. Kali ini kami sedang menatap keindahan lembah penuh bunga liar di sebuah pegunungan negeri daun maple merah. Ini senja yang indah. Aku yang sudah biasa terpukau pun berdecak kagum melihatnya. Terkadang hidup merupakan tantangan bagiku, selebihnya adalah pilihan untuk selalu terpukau atau juga ikut memukau.
“Hey! Jangan melamun terus dong. Pake manyun lagi. Senjanya indah, penuh dengan bias jingga dari matahari terbenam! Persis kayak namamu Jingga,” ucapnya, tak henti – hentinya memuji keindahan alam yang bersolek, mengundang kekaguman kami.
“Jangan lupa kita harus mendirikan tenda. Sepertinya beberapa jam sampai matahari hampir terbit akan bagus di sini. Selanjutnya, kamu tahu kan kita kemana?” tanyaku memastikan. Lelaki ini kadang susah diprediksi. Kejantanannya saja yang selalu konstan, selalu berlagak jagoan, paling berani mengambil langkah. Namun sayang, kadang langkah hanya sebatas langkah. Ibarat Nuttracker berjalan; ya, langkahnya tak terarah dan acapkali harus ditunjukkan jalan.
“Emm, tidak. Hahahaha. Maafkan aku Jingga. Kamu tahu kan, kita memang harus selalu melengkapi. Tidak salah aku memilih traveling partner sepertimu,” ucapnya lugas, tanpa basa – basi dan diselingi tawa nyaring.
I’ll take that as a compliment. Kompasku menunjukkan ke arah utara di sana. Kita akan menuju ke selatan,” jawabku singkat, padat, dan jelas sembari mengangkat kompasku
Perlu diketahui, kami ini ibarat koin yang menyatu tapi memiliki dua sisi berbeda. Saling mengenal baik, namun tetap harus menghadapi perbedaan. Terkadang sulit, tetapi terkadang sangat jauh dari kata membosankan. Namun, aku tak menampik banyak persamaan yang memang sudah bawaan lahir di antara kami. Ah, sudahlah, namanya juga hidup. Ada panas yang menghangatkan, tetapi juga harus ada hujan yang menyejukkan.
“Oke deh! Kalau kita tersesat, aku yang carikan jalan deh,” ucapnya sambil memainkan sepatu boots-nya. Aku hanya tersenyum sarkastik – karena aku tahu dia yang akan membutuhkanku agar tak tersesat.


2 Februari 1954, 03.45 p.m.

 “Jingga, jangan. Kamu, jangan,” ujarnya merintih kesakitan.
Aku melihatnya melihat tepat ke arah kedua bola mataku. Dia tampak mengerang kesakitan. Binatang buas itu kejam sekali. Lelakiku hampir mati dibuatnya. Darahnya bercecer di antara putihnya hamparan salju. Mengapa kemudian menjadi seperti ini? Liburan kami, kesenangan kami? Binatang buas itu sempat menitipkan salamnya kepadaku setelah dia mencabik – cabiknya. Katanya, ‘dia benci harus selalu mengerti.’ Katanya, ‘dia kesepian harus selalu menunggu.’ Katanya, ‘dia telah lelah untuk selalu memulai.’ Entahlah binatang idiot. Kumpulan katanya sama sekali tak masuk di akal. Aku harus tetap rasional.
Aku harus bagaimana? Aku harus mencari tolong. Tertatihlah aku untuk menyelamatkan si lelaki. Aku sungguh mencintainya.
Aku menghitung sampai tiga sebelum berjalan lagi, memastikan semuanya baik – baik saja. Satu, dua, tiga......

2 Februari 1954, 09.50 p.m.

Ah kenapa dia harus tertinggal. Aku bukan Katniss di The Hunger Games yang bisa sehebat itu menyelamatkannya. Sekarang aku terbawa dalam elegiku sendiri, merintih menunggu, namun tahu bahwa aku yang harus kembali.
Pelupuk mataku masih sakit, entah mengapa. Rasanya aku sudah berjalan jauh, kembali ke tempatnya, tepat dimana aku memutuskan untuk meninggalkannya dan mengikuti instingku. Ini gila! Aku memang pelari, tapi aku tak mampu berjalan kehausan di tengah lebatnya badai salju ini.
Aku memejamkan mata lalu mencoba mencari bayangan nyata. Aku terbaring lemah dalam sebuah ruangan, bunker sepertinya. Ataukah rumah warga sekitar yang menyelamatkanku? Entahlah. Aku tak peduli. Aku harus kembali menemuinya. Tak ada yang mengerti bagaimana rasanya – lelah terombang – ambing ketidakjelasan arah dan tujuan. Bahkan ini lebih parah dari terakhir kali kami ke Nepal, mendaki anak tangga menuju puncak Gunung Everest.
“Jingga,” sebuah suara lembut memaksaku untuk fokus mengikuti panggilan itu.
“Ya?” jawabku, bertanya lirih.
“Ayo mari, ada yang menunggumu.” Ucap wanita baya itu singkat. Aku sangat bingung dan tidak mengerti. Seseorang menemuiku dalam bunker? Apa? Ini serasa aneh. Mustahil dia yang menemuiku. Bagaimana bisa dia bertahan selama itu?
Aku berjalan menuruni lorong ke sebuah ruangan berkaca di sudut bunker besar ini. Bunker ini cukup luas untuk ukuran sebuah gunung di tempat dingin bersalju. Cukup hangat juga, cukup nyaman untuk mengistirahatkan pikiran dan sel – sel tubuh yang mulai lelah.
“Waktumu 45 menit ya Jingga,” ujar wanita yang menuntunku tadi.
Aku duduk santai di sebuah kursi yang dudukannya berkarat. Seperti sudah lama diduduki berkali – kali oleh banyak manusia. Lucu, apabila ku memikirkan banyak pantat yang mendudukinya. Ada pantatku juga sekarang. Sama seperti tempat tujuan traveling, sudah banyak yang berlalu lalang; datang, melihat, berlari – lari, bahkan membuang sampah meninggalkan sesuatu yang tak seharusnya ditinggalkan. Aku pun menghentikan pikiranku. Pandanganku tetiba tertuju kepada lelaki di depanku.
Dia! Lelaki yang aku terpaksa tinggalkan karena angka harapan hidup kami sudah menipis. Dia? Yang berdarah – darah diserang binatang buas. Apa? Bagaimana? Aku tidak mengerti. Ini terlalu kompleks.
Tiba – tiba aku mual melihatnya mulai berurai air mata. Entahlah, aku tidak sanggup lagi mengerahkan kemampuan otakku untuk mengingat apa yang terjadi. Aku menutup mataku lalu menghitung sampai tiga, memastikan semuanya baik – baik saja. Satu, dua, tiga....
Mataku perlahan membuka. Aku merasa sangat mual. Aku melihat ke arah kaca di belakang bangkunya. Ada bayanganku, memakai, baju tahanan. Aku tak tahu ini mimpi atau nyata, tapi Tuhan, apa yang telah terjadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar