Jumat, 16 Mei 2014

Rahasia Senja


“Heh, peranakan campuran!,” ujar lelaki itu, garang tepat ke arahku.
“Apa sih, kamu? Pergi sana,” sahutku, datar sambil berlalu berusaha tak menghiraukannya.

Sudah sering aku mendapatkan predikat itu; anak campuran, blester, turunan gagal. Dulu, pada awalnya memang aku sempat mengambil pusing itu. Setiap pulang sekolah, selalu menangis di setiap langkah ke rumah. Ibuku bilang mereka hanya anak ingusan yang tidak mengerti betapa cantiknya aku. Hm, bagiku itu hanya hiburan sementara, sifatnya datang dan pergi ketika ibu membelai rambut ke daun telingaku sambil meninabobokanku.

‘Gubrak’ aku terjatuh di kumpulan daun ‘danpung namu’ yang berguguran. Senja di musim gugur selalu mendatangkan keharuan yang tidak dapat digambarkan dengan kata – kata. Kali ini tentu saja konteksnya dengan sakitnya lututku akibat daun musim gugur ini.
“Kamu nggak apa – apa?”seorang pemuda menjulurkan tangannya di hadapan mukaku. Sontak aku yang terkejut, bukannya menyambut tangan pemuda itu justru berjingkat ke belakang. Sedetik kemudian mataku dan matanya beradu. Lelaki ini dalam benakku seseorang yang cukup tampan. Tipe idaman wanita Asia.
“Ah, aku baik – baik saja kok,” ucapku sambil tersenyum. Tangan pemuda ini tetap masih menjulur tak bergeming. Dengan pelan – pelan aku berusaha meraih tangannya. ‘Halus,’ pikirku. Pasti dia anak orang kaya.
“Terimakasih ya,”lanjutku.
“Bukan apa – apa. Sudah hampir malam. Kamu menuju rumah, kan?”tanyanya, sangat ramah. Berbeda sekali dengan teman – teman sekolahku yang sama sekali tak mengerti tentang hubungan antar manusia untuk saling menghormati. Aku semakin gusar apabila mengingat dan membandingkan hal itu dengan pemuda ini.

“Iya. Mau berjalan bersama?”jawabku dengan tanya yang lugas. Aku memang begitu. Buat apa menyembunyikan maksud apabila memang membutuhkan teman untuk berjalan bersama? Diam – diam aku memperhatikannya. Matanya tajam, misterius dengan bola mata hitam, kelam. Entah apa yang disembunyikannya, dia jarang melihat mata lawan bicaranya. Bibirnya oranye, seoranye senja ini, dan seoranye daun musim gugur yang mulai berjatuhan didera angin. Kulitnya, putih, bukan seputih salju, namun seputih langit pagi yang masih berkabut. Aku semakin hanyut dalam lamunanku dan keheningan langkah kaki kami yang berirama.

Kami berhenti di sudut persimpangan ke arah rumahku. Perbincangan kami malam itu hanya sebatas si korban dan penolong saja. Terimakasih senja sudah membuatku mengenal Yang, sekali lagi terimakasih.

.................................................................

Baru beberapa bulan aku menjadi pengguna media sosial Instagram dan sudah banyak jumlah pengikutku. Aku sebenarnya malas mengikuti trend media sosial ini dan harus memposting foto – foto yang ada di galeri gadget-ku. Bermula dari 10 likes, kemudian berlanjut hingga 10ribu dan bahkan 100ribu likes. Memang, tuntutan pekerjaan membuatku harus terus uptodate dengan hal – hal seperti ini. Aku semakin heran, banyak sekali manusia di luar sana yang seperti dimantrai untuk terus terobsesi bermain dengan ini. Sedangkan aku? Tertarik saja tidak.

“Rin, kamu sudah siap naik?”
Okay, hold on a second,”jawabku sambil tersenyum simpul, seraya membenarkan stilleto ku yang masih berbau toko.

Lenggak – lenggok tubuhku menjadi penutup acara internasional pada malam ini. Jepretan kamera di sana – sini melengkapi ketenaran yang mereka bilang tidak akan pernah bersifat selamanya ini. Khalayak bilang aku cantik dan manis. Menurutku itu hanya masalah selera saja. Aku melangkah dengan stilleto ku dan kemudian berhenti di ujung catwalk, membuka jas ku dan membuangnya ke arah kiriku. Sekali lagi, gemuruh tepuk tangan menghiasi gemerlapnya hidupku. 

..........................................................................

“Aku pulang,” seruku sambil memasuki halaman rumahku. Rumahku terbilang sangat sederhana. Entah mengapa aku menyayanginya. Atmosfer ketenangan yang menyambutku dari pintu gerbang kecil di depan hingga sejuknya tanaman – tanaman yang Ibu rawat, semuanya seakan membuatnya menjadi ‘rumah’ tempatku mengakhiri setiap letihnya hari.
“Ah, anakku,” ujar ibuku, kemudian memelukku terlalu erat hingga napasku tersengal. Kami berbagi tawa dan selalu bersama. Ibuku bekerja dengan tanaman – tanamannya. Dulu ibu bekerja untuk sebuah perusahaan yang meneliti tentang biologi. Namun, kata ibu ada beberapa masalah di perusahaan itu yang membuat ibu tidak betah lagi bekerja di sana. Ibu adalah wanita yang cerdas dan sangat cantik. Ibuku menamaiku seperti nama bunga di Bahasa Jepang, Hana. Kalau di bahasa kami, Hana berarti satu. Kata ibu aku adalah satu – satunya anugerah terindah milik Ibu yang tak akan pernah terganti.
“Nak, ibu membuatkanmu nasi kari di dapur. Maafkan ibu, ibu sudah memakan beberapa bagian. Ibu janji, besok akan ibu buatkan tteopokki, kesukaanmu. Bagaimana?” suara ibu yang sangat lembut selalu berhasil menyejukkan hariku. Kesetiaan tiada tara untuk menyayangiku dan memenuhi hariku dengan keindahan menjadi teladan tersendiri yang tak akan pernah aku lupakan. Sekali lagi aku tersenyum. Kali ini terimakasih untuk ibu. Selalu.

..................................................................................

“Halo Rin, ayo masuk mobil. Kita makan siang ya nak,”papaku membukakan pintu mobil untuk mempersilakanku masuk.
“Terimakasih Pah. Makanan apa siang ini? Teopokki kah?” ujarku sambil tersenyum lebar. Aku yakin papaku pasti tahu seberapa lebar senyumku siang itu.
“Hahaha, baiklah,” ujar papaku datar, namun kemudian menyungging senyumnya.

Sudah lama aku tak bertemu papa minggu ini. Kepadatan jadwalku dan kepadatan jadwal papa membuat kami jarang bertemu. Akhirnya siang ini, keberuntungan mendatangi kami dan kami pun menyempatkan diri untuk makan siang.

‘Mas-issneun teopokki’ sebuah papan restoran yang memang menjadi langganan kami. Kata papa, dulu ini restoran kesukaan mama. Aku pun selalu merasakan kehadiran mama ada di tengah – tengah kami ketika kami makan di sini. 

“Kamu tahu, Rin? Di restoran ini kami melangsungkan pernikahan singkat kami. Di restoran ini, papa memeluk mamamu karena papa tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang yang disayangi. Nenek kamu meninggal satu hari sebelum pernikahan kami, menguak duka yang sudah lama sekali terpendam,” kembali lagi papa bercerita tentang bagaiman restoran ini sangat berharga bagi keluarga kami.
Seusai makan aku berkeliling restoran seperti biasa. Mengapa mereka tidak membeli restoran ini saja kalau memang restoran ini begitu berharga? Lalu, duka apa yang papa selalu bicarakan tiap kali kami ke sini. Aku berjalan ke arah dapur. Baru kali ini aku berjalan ke dapur. Baunya semerbak, wangi, khas ginseng. Aku terheran – heran ketika memasuki pintu dapur. Begitu banyak staff yang bekerja bagi restoran ini, pantas saja lezat masakannya. Kemudian seorang lelaki berjalan ke arahku. Sepertinya dia orang penting. Beliau tersenyum, sangat manis meskipun banyak keriputnya yang mulai merajai wajahnya. ‘Ah, pasti beliau bukan orang lokal’, pikirku setelah melihat mata biru dan postur tubuhnya.
Beliau kemudian berkata, “Apa kabar kesayanganku, Rin?”

1 komentar: