"Jangan, jangan pergi....," gumamku menggigil di sudut kota London, musim dingin 2012. Dia masih saja ingin beranjak. Aku menggenggam tanganya, erat, seakan - akan jatuhan salju yang ini membenamkan genggamanku saja tak mampu melepaskannya.
"Aku nggak pergi. Kalo kamu butuh aku, kamu bilang," ujarnya. Kepercayaanku diuji. Ini bukan hanya tentang ekspektasi yang digabungkan dengan sejarah. Mengingat Tara selama ini selalu berbohong, mengelabuhi aku dengan leluconnya yang menyakitkan. Entah mengapa aku selalu menganggk dan percaya. Bak perawan yang sangat lugu tak berdaya. Aku tahu. Namun, di dalam, Tara belum tahu aku seperti apa.
Semenjak saat itu Tara tak pernah kembali. Masih segar memoriku tentang malam itu. Aku tersungkur di pinggiran Toko Kue dan menangis, menggigil. Rasa tak karuan menyesaki rongga pernapasanku. Aku pingsan. Ya, begitulah. Aku memang mengidap asma karena faktor keturunan. Sedikit tekanan yang diberikan kepadaku akan berdampak pada hela napasku. Saat Tara meninggalkanku, rasanya aku ingin mencium batu nisan. Ingin meronta - ronta, memohon kepadanya untuk tetap mau dipeluk aku. Hah, percuma. Tara mana mau mengulas kembali keindahan harmonisasi album cerita kami.
"Sayang, jangan melamun. Pikniknya jadi?" ujar lelaki paruh baya mengetuk pikiranku.
"Iya, jadi. Aku nggak mau lama - lama. Dingin di luar," jawabku ketus.
Dengan lembut digandengnya tanganku. Dipapahnya aku menuju ke kehangatan sinar di balik pintu menuju beranda depan. Aku bukan orang tua, pikirku. Lelaki ini mencoba menggantikan Tara dari lipatan kenangannya di otakku. Cih, aku tak pernah mencintainya. Ikatan benang merah yang diikrarkan keluarga memang lebih manjur daripada ujaran tulus hatiku. Aku memang bukan Siti Nurbaya. Namun, ibuku bertingkah bak ibu Siti Nurbaya yang rakus, menjerumuskanku kepada perjodohan sepihak. Hidupku chaos, tidak teratur seperti rasi bintang di Bima Sakti. Kembali kesadaranku dalam genggaman lelaki yang hitam di atas putih adalah suamiku ini. Kami terduduk, bersebelahan, mengadu siku. Namun, sama sekali aku tidak berhasrat untuk mengadu mata. Keheningan kembali menyelimuti kami. Ah, bukan. Keheningan selalu menyelimuti kami. Entah rumah tangga macam apa ini. Sudah berabad - abad tak ada rasa di antara kami.
"Rosa, aku ingin bertanya satu hal,"lelaki ini berujar, membuyarkan pemandangan matahari turun yang sedang aku abadikan dengan kedua bola mataku.
"Apa?" kukembalikan pertanyaan. Nada tanyaku tinggi, seakan aku jurinya dan dia terdakwa.
"Apakah kau mencintaiku?" tanyanya kembali. Pandangannya lurus menatap matahari senja. Pertanyaan yang mungkin tidak sering aku dengar. Bukan pertanyaan klise seorang suami asing yang biasanya menanyakan bagaimana pagiku atau apakah aku ingin mentega di atas roti panggangku.
Hatiku sama sekali tak bingung untuk menjawab. Otakku pun tidak. Mulutku dapat menjawab apa adanya dan ada apanya detik itu juga. Entah mengapa ada yang mencekat di kerongkonganku. Ketika aku melihat linangan air mata jatuh di pipi sebelah kanan suami asingku ini.
"Apa kamu baik - baik saja?" ujarku datar, sok peduli atau memang peduli.
Entah, rasanya ada campuran perasaan baru yang aneh di dadaku. Detak jantungku menjadi berhamburan. Bukan jatuh hati, tetapi aku tak mampu memungkiri rasa ini. Kemudian semuanya tampak jelas, matanya yang cokelat dan berair, bersinar diterpa cahaya matahari senja. Tangannya yang masih menggenggam telapak tanganku pun terasa hangat dan menentramkan. Di jari manisnya terikat cincin kawin kami, cincin emas putih sederhana yang tampaknya tak pernah ia dengan tak setia untuk tanggalkan. Kemudian bagian terapik dari tubuh suamiku yang baru saja aku sadari. Ada lesung pipit di pipinya. Entah bersedih ataupun tertawa, tampaknya dia terlihat bersinar dengan hiasan lesung itu.
Sesaat dia memindahkan arah penglihatannya ke mataku. Dag dig dug, jantungku seperti drum yang ditabuh bersama - sama oleh seribu penabuh drum. 'Aku kenapa?', tanyaku pada diriku sendiri.
Kemudian kata - kata itu pun keluar, muncul entah dari mana sumbernya, memecah ketenangan senja itu. Senja yang asing kemudian berubah menjadi senja yang sepertinya kukenal....
"Iya Tara, aku cinta sama kamu. Maafkan aku kalau aku mencintaimu di dalam keasingan pikiranku. Aku cinta kamu dan aku mohon jaga anak - anak kita," ujarku lembut, melawan arus ingatan yang kemudian kembali keruh karena sindrom dementia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar