New York, 10 Desember 2010
"Maaf," ujar seorang pemuda setelah menabrak samping tubuhku. Untung saja aku tidak terhuyung ke segala arah dan membuat onar di tempat kerjaku pagi ini. Aku cukup lihai dengan keseimbangan yang labil.
"Nggak apa - apa. Kiriman? Seperti biasa?" sapaku ke pemuda itu memastikan bahwa tabrakannya tidak mengguncang hidupku seutuhnya.
"Iya, satu loyang Red Velvet dan satu loyang Cheese Cake," jawabnya dengan senyum tersungging di sudut bibirnya.
Sudah lima bulan aku bekerja di Coffee Shop Queen di sudut Kota New York. Hingar bingar kebisingan kota ini sudah bersahabat dengan soreku usai kuliah. Aku harus membiayai hidupku yang tanpa orang tua dengan bekerja di sini. Aku menyukainya. Aku suka aroma kopi. Lembut dan unik. Bisa menipumu terkadang. Sepertinya manis, ternyata pahit dan mengejutkan. Sebenarnya bukan hanya itu saja alasanku bekerja di sini. Aku bukan penggemar kopi tingkat galaksi yang kecanduannya melebihi manusia rehab, yang terlena zat adiktif. Aku lebih kepada status pecinta kopi yang suka melihat orang - orang berlalu lalang untuk mendapatkan kopi favoritnya. Ataupun orang - orang yang menghabiskan waktu berjam - jam di sudut ruangan hanya untuk menikmati kopi senjanya. Lagipula, Rendy harus ke Sudan untuk misi humaniter. Aku yang bukan cenayang pun bahkan sudah mampu berekspektasi kalau dia akan menghabiskan waktu bertahun - tahun di sana. Entahlah, pekerjaan ini sudah paling tepat.
"Gyn, pengunjung sudah menantimu untuk mengantarkan latte nya. Kenapa kamu masih mematung di situ?" kejut seorang pekerja lain bernama Cindy, sambil menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku.
"Oops, maaf. Aku kira aku sedang menikmati kesunyian senja ini,"jawabku asal. Kemudian mengernyitkan dahi ketika tahu bahwa sudah ada manusia - manusia kota yang tak pernah tidur mengantre di Coffee Shop sore ini.
Rutinitas adalah favoritku. Mungkin karena ini rutinitasku dan aku yang berada di dalamnya. Semuanya hanya terasa sangat simpel. Sangat indah karena pikiranku berkata demikian. Aku tak ingin menganggap susah ketika aku masih mampu mendapatkannya. Toh, kuliahku masih saja berjalan dengan mulus tanpa ada celah sedikitpun. 'Perfect!' gumamku sambil memasukkan dollar bergambar Washington ke dalam mesin kasir. Yeah, akhirnya hari lainnya berlalu. Kemudian tatapanku berhenti seketika aku selesai meregangkan tanganku ke atas.
'Itu kan cheese cake yang tadi? Masih sisa? Kok tumben...' pikirku sambil masih menatap nanar cheese cake itu. Bukan, bukan, aku tak lapar. Tadi pun aku sudah makan dengan bekal yang aku buat sendiri di flat. Bukan peanut butter and jelly sih. Terlalu mengenaskan sepertinya jika setiap lunch harus aku habiskan dengan mengonsumsi peanut butter and jelly sandwich.
"Kenapa Gyna? Kamu mau cheese cake itu? Laparkah?"pertanyaan managerku, Peter mengejutkanku.
"Hahaha, Peter! Tentu saja tidak. Mungkin akan sangat lezat jika aku habiskan untuk sarapanku besok pagi dengan kopi Chicory dan musik jazz," jawabku dengan wajah mengejek.
"Hahaha, sebenarnya itu terdengar seperti surga. Kamu harus membawa pulang itu! Cheese cake ini adalah cheese cake paling enak yang ada di New York loh,"kemudian Peter meyakinkanku dan bahkan menyuruhku mengambil cheese cake itu pulang. Entah mengapa aku baru tersadar bahwa aku jarang membeli kudapan dari toko kue ataupun cafe yang ada di kota ini. Yah, tidak begitu terjangkau. Lebih baik aku pergi ke supermarket dan mendapatkan beberapa potong cookies seharga $2.
"Benarkah? Pasti buatanku lebih enak daripada itu Peter,"timpalku sambil setengah memberikan lelucon.
"Well, setahuku tidak ada yang sehebat Blake dalam masalah baking,"jawabnya dan kemudian diakhiri dengan Peter menuju dapur meninggalkanku dalam kebingungan apakah cheese cake gratis ini akan benar - benar berakhir di meja makanku besok pagi.
................................................
Sudah lebih dari empat semester aku belajar di Juliart, tetapi entah mengapa aku semakin yakin bahwa bakat tanpa ilmu pun akan berakhir menjadi sebuah tantangan. Dengan shift pekerjaan yang cukup padat, aku harus pintar membagi waktu kuliah. Terutama ketika bertemu dengan kelas yang sama sekali tidak kamu bayangkan ataupun idamkan. Kemudian, pikiranku melayang ke cheese cake yang tadi pagi aku santap. Rasanya sangat sempurna. Indah sekali ketika aku menyendoknya dan melahapnya dengan perlahan. Sudah berada di kulkas sejak kemarin sore, namun entah kenapa tidak ada yang salah dengan rasanya. Tiap gigitannya lembut dan meleleh di dalam lidah. Serasa dimanjakan, lidahku berteriak mau dan lagi dari dalam otakku. Mengapa selezat itu? Apa rahasianya? Aku sering membuat kue dan baking. Tapi yang ini, seperti ada sentuhan spesial dari pembuatnya. Seperti menyimpan rahasia resep yang mungkin sudah turun temurun diwariskan dari dahulu kala. Hidup memang penuh misteri, seperti cheese cake yang aku makan pagi ini.
Kembali lagi aku di coffee shop dan dengan berbekal senyum merekah aku menyapa setiap pengunjung yang datang sore ini. Aku menjadi semakin yakin bahwa hidupku tidak akan lengkap tanpa menghabiskan waktu sedetik di sini. Dulu aku sempat takut untuk mencoba bekerja dan bergantung pada kakakku. Namun, tampaknya agak tidak adil ketika aku melihat teman - teman lainku bekerja untuk uang saku mereka walaupun mereka masih memiliki kedua orang tua. Sedangkan, aku tidak. Aku juga pasti bisa menjadi dikuatkan dengan pekerjaan dan didorong untuk menjadi semakin mandiri.
Pemuda itu datang lagi. Siapa namanya? Brown? Sesuatu yang diawali dengan B. Namanya sangat kental dengan nuansa New York atau kota - kota besar lain di Negara Paman Sam ini. Blake. Iya benar, Blake.
"Hai Blake, cake apa lagi yang kamu antar hari ini?"tanyaku separuh kegirangan dan berbekal hasrat ingin tahu yang semoga tidak begitu berbau mencurigakan.
"Hai. Aku bawa macaroons, carrot cake, banana bread, dan satu loyang cheese cake. Tunggu, gimana kamu bisa tahu namaku?"jawabnya diikuti dengan penasaran.
"Ergh, Peter yang memberitahuku. Dia bilang, kalo Blake datang ke sini tolong bantu dia dengan cakenya ya?"jawabku, gugup, sambil mengarang sebuah cerita yang semoga cukup indah untuk meyakinkannya.
"Oh Peter! Tentu saja. Dan namamu?" Untung dia tidak curiga dengan kegugupanku yang mungkin sudah terwujud dengan sedikit keringat dingin di beberapa bagian mukaku.
"Okay, ayo kita mulai lagi. Namaku Gyna, aku bekerja di sini sudah empat bulan dan kamu Blake kan? Kalo iya, berarti kamu sangat sangat dan sangat berbakat dalam masalah baking,"jawabku lengkap dan memberikan aksen tertarik dengan hobinya.
"Hahaha, terimakasih. Sepulang kerja mampir ke tempatku. Ada kejutan, kalo kamu mau,"ajaknya,tegas, namun dengan tatapan yang sedikit memohon. Kemudian dia mengambil kartu nama dari sakunya. Dihibahkannya kartu tangan itu ke jari - jari tangan kananku. Pipinya bersemu merah. Blake dapat dikatakan menjadi pelengkap senja ini di Coffee Shop Queen.
.............................................................
Mataku masih mengernyap tidak percaya. Hidungku sangat menyukai atmosfer baru ini. Tanganku meraba dengan terbata tiap alat yang ada di sini. Mencoba meyakinkan otak dan hatiku ini nyata. Ini adalah sebuah pabrik yang sangat indah. Pabrik yang dihiasi oleh bahan - bahan untuk membuat kudapan terlezat di dunia. Pabrik yang mungkin hanya berukuran 3 x 4 meter, tetapi sangat memanjakan mata. Ranumnya adonan - adonan yang sedang berada dalam proses mengembang, aromanya beberapa kudapan yang sudah pantas dientaskan dari oven dan pemandangan - pemandangan ajaib lain yang tidak dapat tergambar dengan kata. Ini adalah pabrik yang tidak hanya memedulikan the cost and benefits. Ini adalah pabrik yang menyimpan mimpi dan kebahagiaan empunya. Produksi yang membutuhkan proses dan proses yang membutuhkan perasaan.Perasaan senang dan kegigihan untuk memproduksi hasil akhir yang dapat dikonsumsi langsung oleh penggemarnya. Mungkin penggemarnya hanya sebatas sudut mungil kota New York. Tetapi, proses dan pencapaian akhir yang membutuhkan empati dan simpati lah yang sebanding indahnya dengan surga dunia.
Blake berada di pantry ujung kanan. Dia membuat kudapan, sementara manusia - manusia lain sibuk menikmati rasa dan aromanya. Termasuk manusia - manusia yang biasanya mengunjungi Coffee Shop-ku.
Mataku tidak dapat terlepas dari jari - jari Blake yang asik bermain dengan adonan dan mixer. Dia bahkan tampak tak membutuhkan bantuan. 'Lebih baik aku amati saja dari samping,' pikirku sembari merapatkan diri ke tembok pantry milik Blake. Pabrik kue itu cukup lenggang, hanya ada Blake dan beberapa pantry yang kosong. Kelihaian Blake masih tertangkap jeli mataku. Dari mulia ia mengayak tepung, mencampurnya dengan cream cheese dan sour cream. Beberapa butir telur dan beberapa cup gula sepertinya. Ah, terlalu banyak bahan yang harus aku pelajari. Dengan sergap tangan - tangan Blake seperti serdadu serentak menggantikan pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lain. Hingga akhirnya tangan kanannya menuang adonan ke dalam loyang yang sudah berisi crump. Tampaknya simpel dan tidak begitu kompleks. Tapi, entahlah apa yang terlihat biasanya sering menipu.
"Adonan ini harus dipanggang kurang lebih satu jam. Sebenarnya ada alternatif lain dengan memasukkannya ke kulkas atau no bake cheese cake. Tapi daun maple sudah mulai berubah warna dan angin berhembus lebih dingin, ku rasa cheese cake yang dipanggang lebih enak dan cocok untuk dinikmati," jelasnya panjang lebar dengan mata berbinar dan masih terarah ke loyang yang baru saja dimasukkan ke oven.
"Kamu jago ya?"tegurku sambil tersenyum dan mendekati Blake.
"Hahaha, enggak. Sudah terbiasa. Ibuku meninggalkanku di umur 10 tahun dengan resep - resep kue di depan lemari es. Ayah bekerja dan kemudian aku memutuskan untuk pindah ke kota. Sudah lama rasanya,"timpalnya, menatap lurus ke oven, namun kali ini kosong. Seperti memendam sesuatu.
"Kamu rindu ibumu?"entah kenapa pertanyaan bodoh selalu muncul dari mulutku. Tanpa ba bi bu dan tanpa dipikirkan selalu menjadi suatu hasil yang tidak logis bagi cerita hidupku.
"Hehe. Mungkin. Dia tahu aku cinta kue buatannya dan dia tahu aku bisa membuat kue yang mungkin surga bagi beberapa orang. Aku percaya surga dan aku percaya Ibuku pantas di surga. Ibuku sudah memanjakan aku dan semua keluargaku dengan kue dan kudapan lezatnya. Tuhan pasti sangat menyayanginya. Bahkan dia diminta untuk memasak cheese cake di atas sana,"jawabnya, panjang lebar dengan senyum mengembang di kedua sudut bibirnya.
Itu merupakan serangkaian kata dan frase yang mengharukan. Mengharuskan siapapun yang mengucapnya menjadi pribadi yang tegar. Aku tidak percaya sepotong cheese cake memiliki cerita yang sangat kompleks dan bermakna di baliknya. Kemudian perasaan yang serupa aku rasakan ketika cheese cake sudah dikeluarkan dari oven dan didiamkan pada suhu ruangan. Perasaan senang, gembira dan begitu juga dengan aroma yang khas. Ini adalah sumber kebahagiaan. Kudapan dan pembuatnya yang kemudian mungkin menjadi favorit baruku, cheese cake dan Blake.
*Dedicated to Mrs. Sullivan, a culinary art teacher of Sheboygan North High School and you, a cheese cake lover.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar