Pagi ini ketuk kecil guraman hujan membangunkan lelapku. Aromanya lekat, berbeda dengan udara yang pernah aku hirup. Bukan masalah, toh napasku masih seumuran dengan jiwa muda dunia yang mungkin sempat berlari kelelahan dalam perjuangannya.
Cerita ini hanya sekilas. Sekilas kehidupan yang menjadi bagian dari labirin kehidupan empunya. Bukan curahan, bukan juga buaian. Untuk apa, yang demikian sudah berjubel dan menyesaki dunia.
Adelaide, 2013.
Katanya kamu sudah pergi. Katanya kamu sudah tidak ingin bersua dengan keadaan, kehidupan, dan kenyamanan ini. Kenapa kamu masih di sini? Setia menemani sepi. Melagukan setiap asa yang diam, tak pernah berhenti. Aku harus melangkah kemana?
Yogyakarta, 2012.
Enyah saja kamu. Aku berhak memarahimu dan seisi dunia. Aku berhak. Karena kamu pergi di saat aku memuncaki kenyamananku. Di saat kamu seharusnya memenuhi apa yang kamu janjikan dalam katamu. Kamu datang dan pergi saja sesukamu. Ku tak peduli.
Bangalore, 2012.
Sudah berusaha semampuku. Sudah seperti ini. Kaki ku pun melangkah kemana. Hatiku kemana. Otakku kemana. Semuanya bercecer seperti ekspektasi yang bergumul dengan realita. Ingin kumakan setiap kilometer dan menyublimasikan diri dengan udara, lalu muncul dimanapun aku mau.
Semarang, 2012.
Entahlah, semuanya tiba - tiba menjadi mimpi buruk dan membeku menjadi tak berasa.
Daejeon, 2012.
Sedikit salah kata dan setitik pesan linguistik yang menyebabkan nila setitik rusak susu sebelangga. Tidak segampang itu Tuan. Tidak ada yang menodai sucinya warna putih susu ini. Saya dan kamu sama - sama terperangkap dalam nila dan bermain petak umpet. Menerka siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang menanggung semua.
Semarang, 2011.....
Gadis kecil itu berlari menepikan payungnya, berjuang untuk Tuannya yang entah dia temui dimana. Dia hentikan lariannya. Dia hembuskan sedikit napasnya. Payungnya basah. Ada sedikit lambungan harapan di tepi paru - parunya, mengalir ke sisi jantungnya. Gadis itu jatuh hati.
Dunia tidak dengan begitu menghentikan langkahnya. Resiko dan firasat melebur menjadi satu. Ini bukan tentang payung gadis itu yang rusak diterpa badai.
Kembali gadis itu berlari, berlari, dan menepi. Dipeluknya takdir. Dalam sedetik kemudian takdir bernyanyi, "Ikuti kata hatimu. Hidupmu terlalu singkat untuk dihabiskan dengan logika. Jadilah gila. Gila yang membuatmu menjadi penuh dengan harapan dan membuat orang sekitarku merasakan musim yang sama denganmu. Musim semi."
Sekejap, hujan reda dan mentari tersenyum. Gadis itu masih menutup pinggiran payungnya dan senyum manis terkembang di ujung bibirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar