2 Februari 1954,
09.45 a.m.
Mataku
membengkak. Masih terasa pedih, apalagi jika aku menyentuhnya. Hatiku juga
membengkak butuh tambalan di sini sana. Kakiku sakit. Dulu aku sering berlari
keliling lapangan sekolah sebelum berlomba. Tapi, ini bahkan lebih sakit
daripada latihan yang diberikan Pak Jon. Semuanya remuk redam. Aku tak tahu ini
mimpi atau nyata, tapi untunglah aku masih hidup.
1 Februari 1954,
06.45 p.m.
“Jingga, di sini bagus sekali!” serunya bersemangat.
Sudah lima kali dia berteriak kegirangan.
“Iya,” celetukku,
setengah menggumam.
Kami suka
melakukan traveling. Bukan hanya
sebatas mengikuti atmosfer kekinian saja, tapi memang kami sudah melakukan
perjalanan berulang – ulang kali. Kadang jauh, kadang dekat. Kali ini kami
sedang menatap keindahan lembah penuh bunga liar di sebuah pegunungan negeri
daun maple merah. Ini senja yang indah. Aku yang sudah biasa terpukau pun berdecak
kagum melihatnya. Terkadang hidup merupakan tantangan bagiku, selebihnya adalah
pilihan untuk selalu terpukau atau juga ikut memukau.
“Hey! Jangan
melamun terus dong. Pake manyun lagi. Senjanya indah, penuh dengan bias jingga
dari matahari terbenam! Persis kayak namamu Jingga,” ucapnya, tak henti –
hentinya memuji keindahan alam yang bersolek, mengundang kekaguman kami.
“Jangan lupa kita
harus mendirikan tenda. Sepertinya beberapa jam sampai matahari hampir terbit
akan bagus di sini. Selanjutnya, kamu tahu kan kita kemana?” tanyaku
memastikan. Lelaki ini kadang susah diprediksi. Kejantanannya saja yang selalu
konstan, selalu berlagak jagoan, paling berani mengambil langkah. Namun sayang,
kadang langkah hanya sebatas langkah. Ibarat Nuttracker berjalan; ya, langkahnya tak terarah dan acapkali harus
ditunjukkan jalan.
“Emm, tidak.
Hahahaha. Maafkan aku Jingga. Kamu tahu kan, kita memang harus selalu
melengkapi. Tidak salah aku memilih traveling partner sepertimu,” ucapnya
lugas, tanpa basa – basi dan diselingi tawa nyaring.
“I’ll take that as a compliment. Kompasku
menunjukkan ke arah utara di sana. Kita akan menuju ke selatan,” jawabku
singkat, padat, dan jelas sembari mengangkat kompasku
Perlu diketahui,
kami ini ibarat koin yang menyatu tapi memiliki dua sisi berbeda. Saling mengenal
baik, namun tetap harus menghadapi perbedaan. Terkadang sulit, tetapi terkadang
sangat jauh dari kata membosankan. Namun, aku tak menampik banyak persamaan
yang memang sudah bawaan lahir di antara kami. Ah, sudahlah, namanya juga
hidup. Ada panas yang menghangatkan, tetapi juga harus ada hujan yang
menyejukkan.
“Oke deh! Kalau
kita tersesat, aku yang carikan jalan deh,” ucapnya sambil memainkan sepatu boots-nya. Aku hanya tersenyum sarkastik
– karena aku tahu dia yang akan membutuhkanku agar tak tersesat.
2 Februari 1954,
03.45 p.m.
“Jingga, jangan. Kamu, jangan,” ujarnya
merintih kesakitan.
Aku melihatnya
melihat tepat ke arah kedua bola mataku. Dia tampak mengerang kesakitan.
Binatang buas itu kejam sekali. Lelakiku hampir mati dibuatnya. Darahnya
bercecer di antara putihnya hamparan salju. Mengapa kemudian menjadi seperti
ini? Liburan kami, kesenangan kami? Binatang buas itu sempat menitipkan
salamnya kepadaku setelah dia mencabik – cabiknya. Katanya, ‘dia benci harus
selalu mengerti.’ Katanya, ‘dia kesepian harus selalu menunggu.’ Katanya, ‘dia
telah lelah untuk selalu memulai.’ Entahlah binatang idiot. Kumpulan katanya
sama sekali tak masuk di akal. Aku harus tetap rasional.
Aku harus
bagaimana? Aku harus mencari tolong. Tertatihlah aku untuk menyelamatkan si
lelaki. Aku sungguh mencintainya.
Aku menghitung
sampai tiga sebelum berjalan lagi, memastikan semuanya baik – baik saja. Satu,
dua, tiga......
2 Februari 1954,
09.50 p.m.
Ah kenapa dia
harus tertinggal. Aku bukan Katniss di The
Hunger Games yang bisa sehebat itu menyelamatkannya. Sekarang aku terbawa
dalam elegiku sendiri, merintih menunggu, namun tahu bahwa aku yang harus
kembali.
Pelupuk mataku
masih sakit, entah mengapa. Rasanya aku sudah berjalan jauh, kembali ke
tempatnya, tepat dimana aku memutuskan untuk meninggalkannya dan mengikuti
instingku. Ini gila! Aku memang pelari, tapi aku tak mampu berjalan kehausan di
tengah lebatnya badai salju ini.
Aku memejamkan
mata lalu mencoba mencari bayangan nyata. Aku terbaring lemah dalam sebuah
ruangan, bunker sepertinya. Ataukah rumah warga sekitar yang menyelamatkanku?
Entahlah. Aku tak peduli. Aku harus kembali menemuinya. Tak ada yang mengerti
bagaimana rasanya – lelah terombang – ambing ketidakjelasan arah dan tujuan.
Bahkan ini lebih parah dari terakhir kali kami ke Nepal, mendaki anak tangga
menuju puncak Gunung Everest.
“Jingga,” sebuah
suara lembut memaksaku untuk fokus mengikuti panggilan itu.
“Ya?” jawabku,
bertanya lirih.
“Ayo mari, ada
yang menunggumu.” Ucap wanita baya itu singkat. Aku sangat bingung dan tidak
mengerti. Seseorang menemuiku dalam bunker? Apa? Ini serasa aneh. Mustahil dia
yang menemuiku. Bagaimana bisa dia bertahan selama itu?
Aku berjalan
menuruni lorong ke sebuah ruangan berkaca di sudut bunker besar ini. Bunker ini
cukup luas untuk ukuran sebuah gunung di tempat dingin bersalju. Cukup hangat
juga, cukup nyaman untuk mengistirahatkan pikiran dan sel – sel tubuh yang
mulai lelah.
“Waktumu 45 menit
ya Jingga,” ujar wanita yang menuntunku tadi.
Aku duduk santai
di sebuah kursi yang dudukannya berkarat. Seperti sudah lama diduduki berkali –
kali oleh banyak manusia. Lucu, apabila ku memikirkan banyak pantat yang
mendudukinya. Ada pantatku juga sekarang. Sama seperti tempat tujuan traveling,
sudah banyak yang berlalu lalang; datang, melihat, berlari – lari, bahkan
membuang sampah meninggalkan sesuatu yang tak seharusnya ditinggalkan. Aku pun
menghentikan pikiranku. Pandanganku tetiba tertuju kepada lelaki di depanku.
Dia! Lelaki yang
aku terpaksa tinggalkan karena angka harapan hidup kami sudah menipis. Dia?
Yang berdarah – darah diserang binatang buas. Apa? Bagaimana? Aku tidak
mengerti. Ini terlalu kompleks.
Tiba – tiba aku
mual melihatnya mulai berurai air mata. Entahlah, aku tidak sanggup lagi
mengerahkan kemampuan otakku untuk mengingat apa yang terjadi. Aku menutup
mataku lalu menghitung sampai tiga, memastikan semuanya baik – baik saja. Satu,
dua, tiga....
Mataku perlahan
membuka. Aku merasa sangat mual. Aku melihat ke arah kaca di belakang
bangkunya. Ada bayanganku, memakai, baju tahanan. Aku tak tahu ini mimpi atau
nyata, tapi Tuhan, apa yang telah terjadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar